RBK,PALEMBANG – Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Sumatera Selatan (Sumsel) menggelar uji publik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif DPRD Sumsel tahun 2022 tentang pelestarian nilai-nilai budaya marga dalam masyarakat, Senin (31/10) di Ruang Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumsel.
Penyampaian materi uji publik tersebut dilakukan Dr Meita Istianda Msi dan Dr Dedi Irwanto MA( dari sisi sejarah dan budaya), Dr Tarech Rasyid Msi (sisi filsafat dan sosiologi), Dr Bahrul Ilmi Yakup SH MH (dari sisi hukum) dan H Nang Ali Solichin SH ( tokoh masyarakat Sumsel) dengan moderator Dhabi K Gumayra SH MH.
Hadir diantaranya perwakilan Biro Hukum Pemprov Sumsel, Biro Pemerintahan Pemprov Sumsel, Biro Organisasi Setda Provinsi Sumsel, BPKAD Sumsel, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Sumsel, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumsel, Bagian hukum Sekabupaten kota di Sumsel, anggota Pusat Kajian Sejarah Sumatera Selatan (Puskass), Tim Ahli Cagar Budaya Sumsel, anggota Bapemperda DPRD Sumsel, tenaga ahli.
Acara di buka langsung oleh Ketua DPRD Sumsel Hj RA Anita Noeringhati.
Menurut Ketua Bapemperda DPRD Sumsel Toyeb Rakembang , berdasarkan hasil uji publik raperda ini tidak ada yang berbenturan antara pemerintah marga dan pemerintah yang ada saat ini kalau nantinya marga dalam konsep pemerintahan dihidupkan di Sumsel.
“ Malah justru ruh, nafas undang-undang yang baru ini memberi ruang kepada masyarakat adat untuk menghidupkan kembali pemerintahan marga, tidak ada yang berbenturan,” katanya.
Agenda selanjutnya menurut politisi PAN ini pihaknya akan menggelar rapat internal Bapemperda DPRD Sumsel dengan tim ahli, dengan mengundang para pakar yang menyampaian paparan tadi untuk merumuskan secara tehnis naskah akademik sekaligus draft raperdanya.
“ Setelah selesai draf raperda baru kita ajukan ke rapat paripurna untuk di buatkan pansus,” katanya.
H Nang Ali Solichin SH ( tokoh masyarakat Sumsel) mendukung menghidupkan kembali pemerintahan marga.
“ Undang-undang bisa kita rubah , sepanjang tidak bertentangan dan itu ada manfaatnya , bukan apa-apa ada 160 sekian bupati dan walikota di OTT oleh KPK dari 546, banyak nian, gubernur ada 17 orang dari 34, nah apakah salah orangnya, tidak tapi salah peraturannya ini ,” katanya sembari mengatakan, zamannya jarang bupati kena OTT karena uangnya tidak banyak zaman dulu, kalau kami dulu andalan inpres-inpres saja.
Dr Bahrul Ilmi Yakup SH MH mengaku melihat uji publik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) inisiatif DPRD Sumsel tahun 2022 ini bukan termasuk uji publik raperda, karena yang ada ditangannya adalah naskah akademik.
“ Kita lebih mengkritisi naskah akademik yang ada, memang di belakang naskah akademik ini sudah ada draft peraturan daerah tahap I, dia baru mengkompilasi persoalan yang akan diatur , belum merumuskan norma peraturan daerah, 19 point itu baru mengkompilasi ikwal-ikhwal yang akan diatur dalam peraturan daerah, rumusan peraturan daerahnya sendiri belum ada, itu yang harus dirumuskan sesuai dengan tata cara pembentukan perundang-undangan yang harus tegas, jelas dan tidak multi tapsir,”katanya.
Selain itu dia melihat naskah akademik ini belum komperhensif dan tidak jelas orientasinya .
Sama seperti nara sumber lain masih berada dalam gagasan yang blur, tidak tepat apa yang kita mau, oleh karena itu kalau kita mau membuat perda harus perdefinisi apa muatan yang akan kita atur, apakah kita mau mengembalikan lembaga marganya menjadi sistim pemerintahan desa, atau kita mau menghidupkan kembali nilai-nilai adat istiadat ini, itu harus cara berpikirnya, kalau blur seperti ini kita baru diskusi dalam tataran ide dan gagasan,” katanya.
Dan naskah akademik ini dia melihat rujukannya belum lengkap yang terlihat dari daftar isinya dimana merujuk kepada undang-undang yang absolid, undang-undang yang lama yang tidak terkait langsung dengan masyarakat adat.
“ Ada undang-undang terbaru tentang masyarakat adat yang disahkan tahun 2021, enggak di rujuk, oleh karena ini sangat blur naskah akademik ini, dia tidak merujuk UUD 45 pasal 18 yang mengatur sistim pemerintahan , pembagian wilayah, kewenangan pusat, daerah sampai desa, ini masih mentah sekali naskah akademik ini , banyak UU Dasar tidak di rujuk, UU terkait tidak dirujuk sehingga mau kemana materi muatannya belum jelas perdefinisi, undang-undang pemerintahan daerah tidak dirujuk di UU No 23 tahun 2014, ini mau bicara apa, ini menjadi pekerjaan berikutnya kalau kita mau membuat perda yang memang memang karya balik dari DPRD Sumsel .”katanya.
Sedangkan Dr Dedi Irwanto MA mengatakan, menghidupkan Marga di Sumsel ada celah disatu sisi ini mirip ketika marga pasca kolonial Belanda di tahun 1950 sampai awal 1980.
“ Disatu sisi ada pemerintahan marga dan disatu sisi ada pemerintahan kecamatan , kalau orang berurusan urusan administrasi yang sifatnya pemerintaha maka mengurus ke kecamatan kalau mereka mengurus persoalan budaya dan sengketa adat nanti berurusan dengan marga, saya lihat roh raperda ini arahnya kesitu dan meletakkan dengan yang lebih rendah, satu sisi ada desa, satu sisi ada lembaga adat desa , tapi saya sedikit bingung kenapa tidak langsung disebut marga,”katanya.
Apalagi saat ini dia melihat masyarakat paling bawah sudah terecabut dari akarnya.
“ Saya agak sendikit mengkritik peran lembaga adat yang sudah ada , karena terus terang itu sangat sentralistik karena berbau orde baru, perlu ada lembaga lain yang paling tidak tidak sentralistrik tapi bisa mengawasi dan membina kembalinya nilai-nilai budaya marga di masyarakat, lembaga ini memungkinkan sekali karena sudah ada undang-undang pemajuan kebudayaan dan dalam kemajuan kebudayaaan ada dewan kebudayaan daerah yang bisa di bentuk kota dan kabupaten, nanti bersinergi menerapkan budaya marga di masyarakat di Sumsel sebagai lembaga adat daerah sebagai lembaga konsultatif ,” katanya.
Dr Meita Istianda Msi menekankan Sumsel memiliki baju sendiri (marga) dan jangan memakai baju orang lain, yang lebih sesuai dengan roh masyarakat Sumsel, sehingga rekomendasi terhadap lembaga adat desa yang jika nanti setujui dan harus di setujui karena ini amanah undang-undang adalah mendorong masyarakat desa mengakui dan menghormati hak asal usul daerah.
“ Jadi jangan pakai yang lain, ini Sumsel , kemudian mendorong masyarakat desa agar mereka mau belajar , mau memahami , mengkaji adat istiadat yang pernah berlaku, masih berlaku dan berpotensi di berlakukan dan mendorong masyarakat desa menyelenggarakan fungsi adat istiadat, mendorong masyarakat desa segera membentuk lembaga adat desa, ini tahun 2018 sekarang kita mau masuk tahun 2023, lama sekali , kalau di desa harus kita kawal, kita tahu kompetensi dan kapasitas di desa mari kita bantu mereka,” katanya.
Serta mendorong masyarakat desa meningkatkan prakarsa dan partisiapasi masyarakat desa untuk ikut serta dalam pembangunan dengan melestarikan adat istiadat yang pernah berlaku, masih berlaku dan berpotensi untuk di berlakukan.